Welcome to Rinna Fridiana's Notes

Friday, October 21, 2011

Belajar Berhitung

“Mengajarkan berhitung pada anak tidaklah sepenting mengajarkan apa yang mesti mereka hitung.”

Sepintas tulisan itu tertangkap mata dan terbaca dalam hati saat melewati meja temanku. Langkahku terhenti dan memutuskan untuk mundur kembali. Besarnya keinginan mengulang kembali membaca tulisan itu memaksaku untuk mencuri lihat layar komputer teman seruangan kerjaku. Memalukan, tapi rasanya dia tidak akan keberatan karena biasanya juga dia memperlihatkan padaku tulisan-tulisan bijak yang dia temukan di internet. Kuulang membaca tulisan itu dan mencoba menyimpannya di benakku, berusaha mengingat-ingat tulisan itu dan berjanji pada diri sendiri untuk mengurai makna arti tulisan itu di waktu luangku nanti.

Seperti biasa, menjelang adzan maghrib, aku baru sampai rumah. Sudah terbayang kegiatan rutin setelah mandi dan shalat magrib nanti, duduk menghadapi tiga anakku, menunggui mereka mengerjakan PR sekolahnya. Terlintas dalam pikiranku untuk bisa jauh lebih sabar kali ini. Beberapa hari terakhir ini kesibukan kantor cukup menyita tenaga dan pikiran, lelah sekali rasanya. Keinginan untuk istirahat begitu sampai di rumah menjadi hal yang tak mungkin karena tuntutan tanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak tak bisa kuhindari.


Semenjak suamiku mendapat tugas ke luar pulau, semua urusan rumah otomatis menjadi tanggung jawabku, termasuk mengajari anak-anak dan memeriksa PR mereka setiap hari. Rasa lelah yang kutahan-tahan terkadang malah membuatku menjadi sangat tak sabaran, bentakan-bentakan kecil atau sekedar rasa kesal keluar begitu saja manakala anakku tak bisa mengerti juga apa yang telah berkali-kali kuterangkan. Bagiku, pelajaran matematika sangatlah penting, mengingat itu menjadi dasar dari pelajaran lain dan pastilah ilmu matematika akan terbawa terus hingga pendidikan tinggi.

Kemudian kuingat tulisan yang kubaca siang tadi. Dan setelah memeriksa semua PR, kuajak anak-anak naik ke atas tempat tidurku dan kami semua duduk membentuk lingkaran. Di situ aku meminta maaf pada mereka karena telah sering tidak sabar dalam membantu mereka belajar. Kujelaskan bahwa aku tak bermaksud marah-marah dan menyalahkan mereka, itu semua disebabkan karena aku merasa lelah, tapi tetap saja aku sampaikan bahwa itu salahku juga karena bagaimana pun sebenarnya aku harus bisa lebih sabar dan tak menumpahkan kekesalan pada mereka. Di usia mereka yang masih sangat muda, mereka sepertinya bisa menangkap maksudku dan mau mengerti keadaanku. Dalam kesempatan itu juga, aku menyampaikan bahwa aku ingin sekali mereka pandai dalam ilmu berhitung, makanya aku mengirimkan mereka untuk ikut les matematika pada gurunya masing-masing dan berharap mereka mau memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin.

Kemudian kuceritakan tentang tulisan itu pada mereka. Anakku yang terbesar agak bingung dan bertanya padaku, “Maksudnya apa sih, Ma? Emangnya apa yang mesti kita hitung? Matematika?” Aku selalu senang dengan rasa tertarik mereka pada sebuah topik. Alhamdulillah mereka banyak sekali bertanya tentang banyak hal walau tak semua pertanyaan mereka bisa kujawab, tapi bagiku, paling tidak itu sudah menunjukkan bahwa mereka selalu haus akan ilmu.

“Yang mesti kita hitung itu, bukan sekedar PR matematika atau jumlah uang yang kamu punya untuk bekal sekolah atau jajan. Yang mesti kita hitung itu adalah nikmat Allah yang ada di sekeliling kita!”

“Misalnya apa?”

“Misalnya, berapa banyak waktu yang diberi Allah pada kita dalam sehari dan kita pake untuk apa aja. Coba hitung sendiri, 24 jam sehari tapi kita pakai untuk shalat cuma 5 kali sehari, itu pun tiap shalat mungkin cuma 5 menit ya?”

Anakku tertawa dan saling tunjuk satu sama lain. “Ade tuh, Ma, yang shalatnya ngebut,” sang kakak mengadukan kelakuan adiknya. Aku cuma bisa menggeleng saja dan bilang pada mereka bahwa Allah tidak suka sesuatu yang sifatnya terburu-buru.

“Teteh, Mas, dan Ade harus mulai belajar menghitung nikmat Allah yang ada di sekeliling kita ya, supaya kita gak lupa bersyukur dan selalu mengucap Alhamdulillah. Nikmat Allah itu banyak sekali, misalnya kita bisa makan tiga kali sehari, tapi orang lain mungkin cuma sekali sehari.”

“Iya, kasian ya, Ma. Temen Ade juga ada yang makan nasinya cuman 2 kali, dah gitu kalo malem makannya singkong rebus, tapi badannya gendut.” Aku tak kuat menahan senyum melihat si kecil bicara sambil menunjuk perutnya yang diasongkan ke depan.

“Huss, jangan suka ngatain orang lain itu gendut atau kurus, ntar dia marah. Yang penting, temen Ade itu sehat dan bersyukur masih bisa makan, karena masih banyak juga orang yang tidak bisa makan nasi di luar sana karena harga beras sekarang mahal sekali. Dah, ayo bobo dah malem. Jangan lupa berdo'a.”

Tak lama mereka semua terlelap. Kupandangi wajah damai mereka satu-satu, tiga anak yang Kau beri padaku, Ya Rabbi, telah menciptakan kebahagiaan bagiku dan suamiku, nikmat yang tak bisa kuhitung dengan jari. Dan mulailah mata ini memandang sekeliling dan berhitung. 1, 2, 3, dan seterusnya. Inilah yang mesti kuhitung, yang mesti kuajarkan pada anak-anakku. Ah, terlalu banyak yang telah kumiliki, seharusnyalah aku bersyukur lebih banyak dan lebih sering lagi pada Sang Maha Pemurah.

No comments:

Post a Comment