Welcome to Rinna Fridiana's Notes

Friday, October 21, 2011

Menyapa Ibu

Ibu, apa kabarmu hari ini?
Semoga engkau baik-baik saja.
Pagi ini aku terduduk kaku, jemariku kelu membalas e-mail adik kecilku, saat adikku memintaku untuk menyapamu.

Kukatakan dengan yakin bahwa aku sudah menyapamu, bahwa aku selalu pamit saat akan berangkat ke kantor. Tapi aku memang tak mencium lenganmu, mungkin karena ibu tak membiasakannya sejak aku kecil, ibu tak mengajarkannya padaku. Sementara bila aku akan berangkat ke kantor atau pergi ke mana pun, aku selalu mencium kedua pipi serta kening anak-anakku, dan mereka dengan santun mengecup jemariku.

Ibu, aku menangis saat adikku bercerita bahwa katanya aku tidak memperhatikanmu, bahwa aku selalu mementingkan orang lain, mementingkan teman-temanku dibanding denganmu. Benarkah itu yang kau rasa?


Dunia seperti diputarbalikkan dengan paksa di hatiku, ingin berteriak itu tidak benar. Aku tak pernah seperti itu. Aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu, aku memperhatikanmu lebih dari yang kau sadari, ibu. Lebih... Namun aku memang tak punya waktu begitu banyak bagimu. Entahlah, mungkin karena sejak kecil aku tak dekat denganmu, mungkin karena sejak aku kecil kau tak pernah menemani hari-hariku. Aku kau biarkan hanya dekat dengan bapak, seolah kau tak membutuhkan kehadiranku, sehingga selalu terasa ada jarak yang nyata antara kita. Seperti ada rasa hormat yang harus dijaga. Sementara aku dan anak-anakku demikian dekatnya, bercanda, saling bertukar cerita, saling berbagi, saling membutuhkan satu sama lain, dan dalam batas-batas rasa hormat yang tetap terjaga.

Ibu, maafkan kekakuanku padamu.
Maafkan kealpaanku memperhatikanmu.
Aku sama sekali tiada maksud mengabaikanmu. Maafkan jika pada jam-jam makan aku hanya bertanya pada pembantu kita, "Apakah ibu sudah makan?" Dan bila jawabannya "sudah", maka aku menganggapnya selesai. Karena kupikir, perhatian bisa dilakukan diam-diam saja.

Ibu, maafkan jika rumah yang kuberi bagimu untuk ditinggali tak dapat membuatmu nyaman. Namun aku tetap pada keyakinanku bahwa ke mana pun kau pergi, tak ada tempat yang lebih baik bagimu kecuali rumah yang kita tinggali saat ini. Aku ingin kau mensyukuri dan menikmatinya, sebagaimana adanya. Karena di rumah ini, kau bisa melihat cucumu tumbuh besar. Karena di rumah ini, kau bisa melihat bagaimana kami saling menyayangi dan membutuhkan satu sama lain. Karena di rumah ini, setiap orang telah menerima segala kekuranganmu dan menghargai semua kelebihanmu. Karena di rumah ini, kau hanya tinggal menikmati hidupmu tanpa tuntutan dari siapa pun.

Ibu, aku ingin kau tahu.
Aku ini tetap anakmu, namun aku juga seorang ibu sepertimu. Aku ini tetap milikmu, namun suamiku juga memiliki hak atas diriku. Maka ikhlaskan aku untuk menjadi seorang ibu, ikhlaskan aku untuk menjadi istri. Ikhlaskan aku untuk menjadi bagian dari masyarakat di mana aku berkecimpung kini. Kau pasti kesepian tanpa kehadiran diriku untuk selalu dekat denganmu, tapi kau masih berkesempatan melihatku setiap hari, mendengar tawaku, mendengar suaraku, dan temui wajahku saat melongok membuka pintu kamarmu.

Jangan berkeluh kesah, ibu.
Tak ada waktu buat kita menyesali apa yang telah lewat, tak ada waktu buat kita hanya berujar "begini pesan bapak, begini seharusnya," tapi kita hanya berjalan di tempat dan tak juga dewasa. Kekerasan hatimu telah menitis padaku. Tapi kita punya waktu untuk belajar dan berubah. Kita punya waktu untuk memberi yang terbaik ketimbang mengharap-harap sesuatu. Kita punya waktu untuk membuat hari-hari kita menjadi lebih indah.

Dan mulai esok, kan kusapa engkau ibu, kusapa dengan mata ini, kusapa dengan telinga ini, kusapa dengan bibir ini, dan kusapa dengan hati ini.

Semoga Allah menerangkan hati kita untuk bisa melihat dan mendengar lebih jelas.

No comments:

Post a Comment