Welcome to Rinna Fridiana's Notes

Saturday, October 22, 2011

Suara Hati Seorang Anak

"Kenapa mama harus selalu pergi pagi dan maghrib baru pulang?" tanya sang anak.

Dug... Pertanyaan itu langsung menembus telinga dan dengan kecepatan supersonik diantarkan sampai ke otak kemudian diteruskan ke hati. Sementara otak masih sibuk bekerja mencari alasan-alasan yang harus dikemukakan dan mencari cara termudah untuk menerangkan pada seorang anak usia 6 tahun agar mudah ditangkap, hati bekerja jauh lebih cepat lagi. Sudah fitrahnya ia bisa langsung merasakan apa-apa yang terkandung dalam pertanyaan itu, ditangkap oleh hati sebagai bentuk kekecewaan, ada rasa sakit, rasa sayang, rasa ingin memiliki lebih banyak, sebuah tuntutan anak kecil pada sang bunda.

Lama terdiam sambil menggenggam lengan kecil anaknya, bunda kemudian berjongkok dan menarik bahu anaknya untuk disandarkan pada tubuhnya. Bagaimana mungkin dia bisa menerangkan serangkaian kegiatan yang harus dia lakukan demi keberlangsungan hidup rumah tangga pada seorang anak kecil. Anak yang tak mengerti mengapa sang bunda harus bekerja di luar rumah mencari nafkah seolah berlari berkejaran dengan sang ayah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Sementara di lingkungannya, sang anak bisa melihat bahwa ibu-ibu lain berada di rumah sejak pagi hingga petang, sesekali bercengkrama dengan ibu-ibu lain di pagi hari, siang, dan sore hari sambil menanti suami mereka pulang ke rumah.

Apa yang paling ditakuti akhirnya tiba, sejak keputusan kembali bekerja diambilnya, dia sebenarnya sadar bahwa saat itu pasti akan sampai. Yang paling dikuatirkannya adalah apabila anak yang paling disayanginya berpikir bahwa ayahnya tidak punya cukup kemampuan dalam menjalankan kewajiban sehingga harus ditopang oleh dirinya. Atau bila anaknya berpikir bahwa dia pergi kerja semata-mata untuk meninggalkan beban tanggung jawabnya sebagai ibu. Bukan, bukan itu yang sebenarnya terjadi, bukan hal menyedihkan seperti itu yang menyebabkan dia memutuskan kembali bekerja.

Jauh sebelum dia menikah, dia telah lama bekerja. Baginya, bekerja merupakan bagian dari caranya beribadah, bekerja merupakan tempat di mana dia bisa mengeksplorasi kemampuannya secara maksimal untuk suatu tujuan yang baik, kesejahteraan diri, keluarga, serta lingkungan. Dan ini seperti sudah menjadi sebuah tuntutan dari dalam diri, dan beruntunglah ia memiliki suami yang mau mengerti pikiran dan keinginannya, bahkan selalu mendukung apa-apa yang menjadi keputusannya selama itu merupakan hal yang positif.

Kesepakatan-kesepakatan tentu saja dibuat dengan suami sebelum ia kembali bekerja. Jika dulu ia bekerja tanpa perlu mengkhawatirkan segala sesuatu, karena apa-apa yang dilakukannya akan kembali dan berdampak hanya bagi dirinya. Kini keadaan telah jauh berbeda, ia telah bersuami dan mempunyai seorang anak, maka pantaslah bila sebelum memutuskan untuk kembali bekerja, ia harus mendiskusikannya pada suami, mengingat kini apa-apa yang dilakukannya akan berdampak, baik langsung maupun tidak langsung, pada suami dan anaknya.

Pertimbangan-pertimbangan telah dibuat, kesepakatan-kesepakatan dengan suami juga telah disetujui. Selama ini, selaku seorang istri dan ibu, ia telah berusaha maksimal menjalankan peran keduanya dengan baik selama ia bisa dan mencoba meminimalisir kekurangan serta dampak dari waktu yang dia habiskan di luar rumah.

Tak ada keluhan dari suami, tapi hari ini anaknya mulai bertanya. Dan jawaban yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun berada di benaknya justru tak bisa dengan leluasa dan mudah diungkap dalam bentuk kata-kata. Hanya hatinya saja yang bisa berbicara, hanya hatinya saja yang bisa berteriak dengan keras betapa ia mencintai anaknya, betapa ia menginginkan yang terbaik buat anaknya, betapa ia selalu merindukan anaknya saat-saat ia bekerja, betapa ia tak pernah bermaksud menyakiti atau menelantarkan anaknya.

Sang bunda memeluk anaknya kian kencang, menyembunyikan airmata yang menetes deras di balik kepala sang anak. Andai ia bisa membelah dadanya untuk memperlihatkan betapa besar rasa cinta yang ada di hatinya, namun ia tak bisa! Kalau pun dada itu terbelah, isi hatinya tak bisa menterjemahkan bagaimana cinta dan sayangnya berada di situ.

"Kenapa mama menangis? Apa ada kata-kata ade yang menyakitkan hati mama? Ade salah ya?"

Subhanallah, kata-kata itu malah menciptakan gemetar yang hebat di sanubari sang ibu. Dia memohon agar Allah memberinya kekuatan dan jalan untuk menyelesaikan keadaan ini sebaik-baiknya.

Dimulainya dengan gelengan kepala kuat-kuat, sang bunda menjawab, "Ade tidak salah, itu pertanyaan yang bagus sekali. Ade sudah pintar dan mengerti bahwa mama Ade ini berbeda dengan mama yang lain ya?"

Sang anak mengangguk dan mengulang pertanyaannya, "Iya, kenapa?"

"Karena mama dan ayah ingin Ade punya kesempatan menikmati hidup sebaik mungkin, karena mama dan ayah ingin Ade berkesempatan sekolah setinggi mungkin, menimba ilmu sebanyak mungkin, dan semuanya itu butuh biaya. Mama dan ayah sepakat mencari biaya itu bersama-sama, tapi bukan semata-mata uang yang kami cari. Kami juga berharap bisa berguna bagi lingkungan. Nanti kalau Ade sudah lebih besar, Ade pasti akan mengerti. Apa mama membuat Ade sedih karena mama bekerja? Atau apa Ade merasa ditelantarkan?"

Sang anak menggeleng sambil menundukkan kepala dan terdengar suara kecilnya seperti suara dari surga bagi sang bunda, "Ade hanya kasian saja sama mama. Mama pasti cape sekali, karena sepulang dari kantor masih harus melayani makan malam, masih harus temani Ade belajar, masih mau bercerita sampai Ade tertidur. Mama juga masih terus melayani ayah dan melayani Ade sampai malem, padahal Mama sudah seharian kerja di luar. Mama Ade hebat.. Ade sayang mama..."

Tiba-tiba saja apa yang memberati pikirannya dan hatinya, mengepul bagai asap, hilang tanpa sempat dicerna. Anaknya tumbuh sedemikian cepat untuk bisa memahami hal-hal yang tak disadari, bahkan oleh orangtuanya. Menyikapi itu dengan sangat cerdas dan bijak.

Ya Wahab, Yang Maha Pemberi Karunia...
Ya Lathif, Yang Maha Penyantun...
Nikmat mana lagi yang masih bisa kita dustakan? Dia telah mengkaruniai seorang anak yang penyantun bagi seorang bunda yang bekerja keras demi lahirnya anak yang shaleh.

Ketika niat diluruskan untuk kebaikan, maka insya Allah akan lahir kebaikan-kebaikan yang akan menjadi sumber kenikmatan hidup. Jangan lupa mensyukurinya karena tak ada kenikmatan yang lahir dengan sendirinya, semua itu berasal dariNya.

No comments:

Post a Comment